Keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Siapakah
yang tidak mendambakan keluarga yang seperti ini? Rumah tangga yang penuh
rahmah (kasih sayang) antara suami dan istri, penuh kelembutan dan saling
pengertian. Penuh cinta (mawaddah), memiliki hubungan batin yang kuat. Dan
sakinah, rumah tangga yang damai dan tenang, menyatu dalam sebuah rumah tangga
yang penuh dengan berkah.
Sejujurnya aku mau dinikahinya karena dorongan
untuk berbakti kepada kedua orang tuaku. Tepat lima tahun yang lalu aku sah
menjadi istrinya. Selama berjalannya waktu, perasaan cinta dan kasih sayang itu
muncul. Alhamdulillah, pernikahan kami berjalan lancar. Biduk rumah tangga yang
kami bangun tidak mengalami masalah. Sakinah, Mawaddah, Warahmah ku rasakan.
Kami tidak mempermasalahkan banyak hal, apalagi masalah finansial. Sebagai
seorang istri, aku berusaha memahami keadaan suamiku yang bukan berasal dari
golongan atas.
Kami mulai mengayuh bahtera rumah tangga ini. Unsur
kasih sayang, syukur kepada Allah aku dikaruniai suami yang penuh kasih dan
penyayang. Cinta, kami saling mencintai dan berkahnya, kami dikaruniai momongan
yang lucu. Tapi satu tahun setelah menikah, separuh unsur sakinah tidak kami
rasakan yaitu tinggal bersama.
Kami harus tinggal terpisah, aku bersama orangtua
sedangkan suamiku harus tinggal jauh dari kami untuk bekerja. Disaat Allah
memberikan pekerjaan pada suamiku, kami harus tinggal terpisah. Sabtu dan
minggu menjadi momen spesial karena saat itulah suamiku pulang. Dua hari jelas
tidak cukup. Tapi kami harus bersabar karena insyaallah suatu saat kami akan
berkumpul kembali.
Hidup berjauhan seperti ini harus kami lalui
kurang lebih selama 3 tahun. Itu bukan waktu yang sebentar. Setiap hari yang berlalu selalu terselimuti
kabut rindu. Banyak momen yang aku dan anakku lewati tanpa kehadiran ayahnya.
Alhamdulillah, satu tahun yang lalu, suami
dipindah ke tempat tugas yang lebih dekat. Kami pun bisa berkumpul kembali, setiap
hari, setiap waktu. Rasa syukur kami panjatkan atas nikmat yang telah Allah berikan
kepada keluarga kecil kami.
Kami mulai merencanakan masa depan, mengumpulkan
sedikit demi sedikit hasil kerja kami agar bisa digunakan untuk membangun
rumah. Setiap orang pasti mendamba punya rumah sendiri. dan ini bukanlah hal
yang mudah. Yah, kecuali bagi yang diberi rizki lebih oleh Allah.
Sholat malam kami tingkatkan lagi, memohon
petunjuk dan jalan terbaik untuk kelangsungan hidup kami. Kepada siapa lagi
hendak meminta jika bukan kepada Dzat yang Mahakaya? Kepada siapa lagi hendak
mengantungkan harapan jika bukan pada Sang Pemberi Detak Jantung?
Setiap ada waktu luang kami sempatkan untuk
mencari rumah yang nantinya akan dijadikan tempat tinggal kami. Berkeliling
dari desa sekitar kami sampai desa sebelah, bahkan dari perumahan ke perumahan
hanya untuk melihat-lihat barangkali kami tertarik untuk membeli salah satu
dari perumahan tersebut. Meskipun kami sudah berkeliling kesana kemari ternyata
belum ada yang cocok. Tempat-tempat yang kami kunjungi tidak cocok karena kami
memang berharap mendapat tanah yang dekat dengan orangtua kami.
Tarnyata Allah Maha Tahu apa yang diinginkan
hamba-Nya. Tidak lama kemudian, kami mendapatkan tanah yang kami inginkan. Kami
cepat-cepat mengurus dan membangun rumah. Alhamdulillah kami dapat menempati
rumah yang kami bangun dengan jerih payah kami selama bekerja. Kami sangat
bersyukur dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya.
Kami punya waktu cukup untuk berkumpul bersama
keluarga. Subhanallah, indah-Nya karunia-Mu. Setelah sekian lama kami menunggu,
betapa bahagianya kami saat kami akhirnya bertemu. Ketika libur, kami luangkan
waktu untuk berlibur di rumah nenek. Kini puteri kami sudah berumur 4 tahun.
Meski bekerja, aku tidak pernah lalai untuk mengasuhnya dengan tangaku sendiri.
Namun untuk liburan kali ini, aku harus diklat selama beberapa hari di luar
kota dan ia harus kutinggal. Liburan yang seharusnya dijadwalkan ke rumah nenek
harus ditunda.
Beberapa hari yang terasa begitu lama, akhirnya
selesai juga dan tibalah saatnya penutupan. Setelah melaksanakan sholat dzuhur,
kurebahkan diri untuk melepas lelah, tiba-tiba handphone ku berbunyi dan
langsung kuangkat.
“Assalaamu,alaikum.” Suara kakakku terdengar
sedih. Apa yang terjadi?
“Wa’alaikumussalaam, ada apa Mbak?”
“Kamu yang sabar ya...?”
“Memangnya ada apa ?!” panik.
“Suamimu kecelakaan...”
“Trus sekarang di rumah sakit mana? Gimana
keadaannya?”
“Sekarang di RSUD, tapi...dia sudah meninggal...”
“Innalillahi wa’innailaihi roji’un”
Ya Allah... Seketika itu juga tubuhku lemas tak
bertenaga, bumi seakan runtuh. Hanya air mata yang mengalir di pipiku,
penantian yang selama satu minggu agar bisa berkumpul kembali dengan suami dan
puteriku pupus sudah. Terlebih lagi, pertemuan kami setelah sekian lama
terpisah jarak selama sekian tahun harus berakhir kini. Setelah sekian lama
rela berpisah, kemudian bersatu dan sepertinya, kami baru saja mendapatkan
kesempurnaan dalam berumah tangga, kini harus terpisah untuk selamanya.
Cobaan ini terasa begitu berat, dengan seorang
puteri yang masih kecil, yang masih sangat membutuhkan figur seorang ayah, tapi
takdir berkata lain. Semua itu harus kuterima dan kujalani, Allah memberikan
cobaan sesuai dengan kamampuan kita.
Saat ini kucoba mendidik si kecil agar menjadi anak
yang sholehah, berusaha untuk memberikan pendidikan dan kehidupan yang layak. Aku
berusaha untuk menjadi seorang ibu sekaligus ayah untuk puteriku. Semoga Allah
memberikan kesabaran, ketabahan dan kekuatan serta jalan terbaik agar kami bisa
menjalani hidup ini dengan tawakal dan terus bersyukur kepadanya.